Rabu, 13 Juli 2011

tentang aku

Habis dengerin theme song mpkmb IPB 46 kok jadi pengen nulis gini ya…hehehe…
PROLOG…
Sangat tidak menyenangkan bila tahu bahwa uang untuk membiayai kuliah ternyata adalah uang hasil menghutang. Bukan aku sok, tapi sudah terlalu banyak hutang orang tuaku. Tambah lagi hidup di kampus “itu” bagiku memerlukan biaya yang mahal. Berarti bertambah pula uang hutang yang harus orang tuaku pinjam untuk membiayaiku. Hemh…andaikan dulu keluargaku tidak punya masalah, mungkin orang tuaku tidak akan membanting tulang untuk membiayaiku kuliah. Aku sangat tidak nyaman kuliah di kampus itu, selain sistem kuliahnya yang aku tidak suka tapi juga karena aku juga ikut memikirkan hutang-hutang yang besarnya mungkin sudah melampaui harga rumahku sendiri. Orangtuaku memang tidak menyuruhku untuk ikut memikirkan hutang-hutangnya atau bahkan menyuruhku mencari uang untuk mencari uang dan melunasinya. Mereka selalu diam-diam setiap berhutang ke orang lain, namun aku hampir selalu tahu, walaupun aku tidak tahu jumlah persisnya.
Karena aku merasa jika tetap disana maka uang yang diperlukan untuk biaya hidupku sungguh mahal, aku memutuskan untuk mencoba peruntungan di kota sendiri. Aku hijrah dari ketidaknyamanan itu menuju ketidakpastian. Gila! Memang, tapi aku merasa jika aku pindah maka setidaknya biaya yang dikeluarkan mungkin hanya separo dari biaya hidup disana. Aku pulang, maaf bapak, ibu…
.
Ini ceritanya…
Saat aku masih kecil, keluargaku tidak mengenal kata-kata kasih sayang, bapak sayang ibu, ibu sayang kakak, dll. Entah kenapa, aku tidak pernah menanyakannya. Bahkan jarang sekali kami mendiskusikan tentang kehidupan kami sehari-hari. Awalnya aku tidak memasalahkan itu semua, namun lama-lama aku mengerti bahwa ada ketidakharmonisan dikeluargaku. Aku merasa kurang, sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara yang manja dan bandel, aku membutuhkan perhatian yang lebih. Namun sayangnya ketika itu keluargaku sedang bermasalah, bahkan hampir saja broken home. Saat itu aku SD, dan aku harus melihat dan mengalami berbagai masalah dalam hidup. Aku tak tahu harus berbuat apa ataupun memposisikan diri dimana. Sungguh dilema.
Bapakku bermasalah dengan ibu, ya seperti kisah percintaan yang lain lah. Sementara kakakku yang laki-laki tidak patut menjadi seorang kakak, tidak bisa menjadi contoh yang baik. Lalu nenenkku bermasalah dengan bapakku. Aku dan kakakku yang perempuan berada ditengah-tengah mereka.
Saat itu jiwaku benar-benar belajar tentang arti keluarga, dan aku tidak menemukan arti itu dalam keluargaku sendiri. Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana orangtuaku bertengkar, dan membanting berbagai barang yang ada didekatnya. Jika membanting gelas dapat melegakan marahnya, maka aka nada banyak pecahan gelas, bila berteriak dapat melegakan amarahnya, maka tetangga sebelah akan mendengar drama gratis. Kakakku yang laki-laki tidak sungguh-sungguh bersekolah, entah apa keinginannya, setiap ditanya tidak pernah menjawab. Kakakku ini adalah cucu kesayangan nenekku dalam keluarga besarku, tidak ada yang lebih disayang daripada dia. Tapi kelakuannya tidak seperti anak kesayangan, saat kuliahpun ia tidak sungguh-sungguh. Saat bekerja juga begitu. Sebagian besar uang keluargaku dihabiskan untuk membiayai ketidak sungguhannya itu. Imbasnya adalah jatah keuangan untuk biaya hidupku adalah hutang!
Aku muak dengan semua ini, aku muak tapi tak berani bicara, siapa juga yang mau mendengar omongan seorang bocah ingusan seperti aku. Saat aku kecil aku sering sekali sakit sampai badanku sangat kurus seperti orang busung lapar. Kata orang tuaku itu karena emang sistem imunku yang lemah. Padahal saat aku masih balita, segala jenis imunisasi aku ikuti tanpa pernah absen, begitu cerita ibuku. Kalau hipotesisku, mungkin sebenarnya itu karena jiwaku yang sakit. Aku belum siap untuk hidup dengan permasalahan yangs seperti itu walaupun mereka semua tidak memintaku untuk ikut dalam masalah mereka, namun aku adalah bagian keluarga, aku ada disana, aku sudah merekam semuanya, bagaimana aku bisa menghindar.
Dulu, sebagai anak yang bungsu, selain dimanja aku juga menjadi pelampiasan kemarahan, karena tentu argumen seorang bocah sangatlah mudah dipatahkan. Waktu SMA, setiap ada masalah yang tidak selesai, dan aku membuat sedikit kesalahan maka akulah yang menjadi bahan mengeluarkan semua kemarahan di hati. Sungguh tidak rasional hanya karena masalah kecil aku dimarahi sedemikian rupa. Hal ini berimbas kepada diriku yang akhirnya meniru gaya mereka yang suka memperbesar masalah.
Waktu aku masih kecil, setiap selesai dimarahi dan hampir selalu berujung tangis, aku selalu mengurung diri, atau bersembunyi entah dimana untuk berimajinasi sejadi-jadinya. Aku berimajinasi bagaimana bila aku pergi dari rumah, lalu hidup dijalanan bersama anak-anak jalanan, kelihatannya menyenangkan, aku mendambakan kehidupan seperti itu dimasa kecil dulu. Aku menginginkan itu karena aku merasa aku sudah tidak berguna lagi bagi orang-orang disekitarku. Sampai aku SMA pun aku masih sering merasa tida berguna bagi orang lain, mungkin karena ini sudah menjadi template bagi otak dan jiwaku.
Aku tidak suka dengan cara keluargaku “berkeluarga”. Aku mulai mencari celah-celah untuk mengingatkan, tentu tidak dengan ucapan karena pastinya akan sangat menggurui. Aku lakukan dengan tindakan-tindakan. Dengan perilaku, dengan kepribadian. Dan beruntung kehidupan keluargaku menjadi lebih baik.
….
Ini inti ceritanya…^o^
Awalnya aku bilang ke Fauziah tentang alasanku terjun di bidang kesehatan, kedokteran utamanya. Alasan ini mirip dengan alasannya mbak Vivi, yang walaupun klise, tapi inilah alasanku.
Aku ingin membawa taraf kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik. Setidaknya didaerah-daerah terpencil dan daerah tertinggal (sebenarnya buka daerah tertinggal tapi daerah sengaja ditinggal) mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai dan kalau bisa sama dengan yang ada di kota-kota.
Beberapa periode yang lalu, kita disuguhi iklan sebuah partai yang memperlihatkan seorang bidan yang bertransportasikan perahu untuk melayani masyarakat yang berada didaerah yang terpencil. Setidaknya aku juga mempunyai semangat seperti itu saat ini, mungkin mbak Vivi juga begitu, ia ta mbak Phie?
Namun setelah beberapa bulan dirumah, alasanku untuk berada disini dan mengenakan alamamater ini bertambah lagi. Alasanku adalah karena orangtuaku. Aku ingin mereka melihatku memakai toga dan mendapati aku bergelar Sarjana. Aku ingin mereka tersenyum bangga, karena aku telah membawa cita-cita mereka juga ke tingkat yang lebih tinggi. Aku ingin segera lulus, karena aku sungguh aku tidak menjamin apakah mereka masih mampu untuk datang ke wisudaku jika kuliahku ini tertunda kelulusannya.
Bapakku umurnya 50an, rambutnya sudah putih, namun ia rutin mengecat rambutnya agar berwarna hitam, ia sekarang juga sudah mudah lelah. Beberapa tahun yang lalu ia terkena serangan gejala stroke, sebagian tubuhnya lumpuh. Bisa membayangkan bagaimana bila melihat orang yang telah merawat kita sejak kecil tergolek tak berdaya di kamar? Sungguh sangat sedih. Setelah beberapa kali ke dokter dan rajin minum air kacang hijau rebus akhirnya penyakitnya sembuh. Namun beberapa waktu yang lalu, ia sering mengeluhkan kepadaku tentang tangannya yang terkadang kesemutan dan agak sulit digerakkan. Aku tidak tahu harus berkata apa, aku menjawab seadanya saja.
Dulu waktu mengantarku ke Bogor, bapak sakit namun ditahannya, dan ia pulang dengan keadaan yang sangat lemah. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu, karena saat itu aku sadar bagaimana perjuangannya untuk mampu menyekolahkan anaknya setinggi mungkin itu sangat berat. Mungkin lebih mudah bila seorang bapak diminta untuk memindahkan gunung Himalaya.
Ibuku umurnya hanya selisih satu tahun dari bapak, ramputnya juga sudah ramai dengan uban, giginya yang dulu indah sekarang banyak yang sudah berguguran dan memaksa ibuku untuk memakai gigi palsu, karena beberapa giginya yang depan juga sudah ompong, menambah lucu saja bila ia tersenyum.
Ibuku menderita kencing manis juga darah tinggi. Terakhir kali aku mengantarnya ke dokter sebulanan yang lalu, dokter sampai harus mengecek tensi darhnya berulang-ulang karena tidak percaya dengan tekanan darah ibuku yang sangat tinggi. Mungkin bagaimana mungkin tensi darah yang sedemikian tingginya namun tetap bisa seperti ibuku. Entahlah, Allah kan Maha Pengasih dan Penyayang. Sejak tiga bulan yang lalu ibuku selalu mengeluhkan lututnya yang sering sekali nyeri, sangat nyeri katanya, entah kenapa dokter juga tidak begitu jelas menerangkannya. Sungguh sangat sedih, bagaimana mereka tidak bisa menikmati masa tuanya. Beruntung dirumah, ada seorang cucu perempuan yang lucu, menggemaskan dan menyebalkan…hehe. Sebagai penghibur dikala lelah, sedih ataupun sakit.
Bila aku asumsikan mereka sebagai sumber ekonomi, maka seharusnya mereka sudah harus beristirahat karena usia mereka yang sudah sepuh bagiku. Aku sadar bahwa mereka telah berusaha semaksimal mungkin untuk membiayai hidupku dewasa ini. Walaupun sebagian besar adalah dengan modal hutang, tapi ini bukan kenekatan orang tuaku tapi ini adalah tekad mereka untuk bisa mensarjanakan anak-anaknya. Mereka sadar sepenuhnya bahwa pendidikan adalah investasi yang tak bernilai harganya, meskipun orangtuaku sering mengeluhkan jumlah uang yang telah mereka keluarkan, itu wajar. Beruntung karena ibuku guru, dan sekarang ada sertifikasi, jadi bisa nyicil untuk melunasi hutang. Hehe…Allah akan memberi rejeki yang datangnya tidak bisa kita tebak.
Kata Kyai dipondokku dulu, kalau dalam mencari ilmu masalahnya cuma rejeki, Allah itu Maha Kaya, pasti selalu ada jalan bagi mereka yang benar-benar mau mencari ilmu.
Tentu, kali ini kau akan bersungguh-sungguh dalam menjalani kuliah. Akan berusaha sebaik dan sekuat mungkin. Membuat mereka yang telah membantu aku untuk bisa kuliah menjadi bahagia dan bangga.

0 komentar:

Posting Komentar

prev next