Rabu, 13 Juli 2011

rumit

 Jatuh cinta bagi sebagian orang bukanlah hal yang sulit. Kenalan, tuker nomer hape, ngedate, jadian. Bisa jadi sesimple itu orang pacaran. Ada juga orang yang gonta-ganti pacar semudah mereka ganti baju tiap hari. Kesederhanaan jatuh cinta juga nggak bisa ditebak, faktor pandangan pertama, nggak sengaja ketemu, karena satu sekolah, satu kelas, satu organisasi, atau bahkan mungkin yang dulunya musuh sekarang udah nikah. Jatuh cinta emang nggak punya etika kalo bertamu, nggak pernah ngasih tahu si empunya hati kalau mau datang.
Di sisi yang lain, jatuh cinta bukan hal yang mudah bagi sebagian orang lainnya. Selalu berbenturan dengan satu kata : RUMIT! Ya, ada orang yang sulit banget jatuh cinta, ada juga yang sulit buat orang lain nerima cintanya. Ada orang yang harus rela jadi mata-mata, menguntit tiap hari orang yang buatnya jatuh cinta, menyelidiki apapun yang dia lakukan, mencatat apapun yang dia suka, sampai akhirnya orang tersebut tahu banget detail-detail terkecil dari kehidupan orang yang dia suka. Tapi, karena terlalu lama menyelidik tanpa berani mengungkapkan perasaannya, yang dia dapat nol besar. Orang yang dia suka udah keburu diambil orang lain.
Ada yang berani mengungkapkannya, tapi ditolak. Sadisnya, dia nggak pernah berhenti buat ngejar orang yang dia suka, sampai akhirnya orang yang dia suka nyerah, bukan karena kasihan atau nggak ada pilihan lain, mungkin juga alasan itu benar, tapi mungkin juga karena dia mengakui kegigihan orang yang menyukainya. Ada orang yang beraninya hanya nitip salam, atau retronya, nyelipin surat diantara lembar-lembar buku catatan yang dia pinjem. Awalnya yang punya catatan cengar-cengir-merah-merona-tersipu-malu, tapi skenario yang berhasil cuma sampai disitu, karena lupa (atau biasanya sengaja) menulis nama pengirim. Orang yang dia sukai nggak akan pernah tahu siapa orang yang udah ngirim surat romantis itu. Ini bukan lagi jatuh cinta diam-diam, tapi jatuh cinta seorang pengecut.
Ada juga jatuh cinta yang gentleman, bersaing dengan sahabat untuk ngedapetin orang yang mereka berdua suka, konsekuensinya, salah satunya harus legowo menerima keputusan pilihan orang yang mereka suka. Bisa jadi malah bukan keduanya yang dipilih. Dan masih banyak lagi jatuh cinta yang kalo ditulis nggak akan habis-habisnya.
Bagaimanapun juga jatuh cinta butuh keberanian.
Keberanian itu yang nggak aku punya setelah putus dengan mantanku yang terakhir. Kesalahan yang aku lakukan kepadanya membuat keberanian yang aku punya jadi luntur. Keberanian jatuh cinta, keberanian pedekate, keberanian mengungkapkan rasa, keberanian mencintai dan keberanian dicintai, nggak satupun yang aku punya.
Aku bukan orang yang diberi Tuhan karunia untuk mudah dicintai dan mencintai orang yang tepat. Setelah “big bang” itu hidupku jadi berubah. Jatuh cinta jadi semacam phobia. Mungkin orang sepertiku yang udah mengecap rasa jatuh cinta, pasti selalu ingin lagi, tapi takut. Bingung? Sama….
Beberapa kali aku pernah jatuh cinta setelah menyelesaikan hubungan dengan mantan, cinta sesaat tentunya. Iri karena mantan cepet banget dapet pacar baru, ngebuat aku jadi agresif melancarkan berbagai aksi untuk mencari cewek yang tepat untuk dicintai, ups, ketinggian ternyata saat itu, cukup cewek yang mau sama aku, nggak jadi masalah. Big disaster, ternyata nggak seorangpun yang aku kejar mau dengan cowok macam aku.
Nggak menyerah, aku masih mencoba mengejar satu dua cewek, aksi agresif yang aku lakukan udah kayak cowok yang ingin memiliki, bukan mencintai. Ya, sederhana, aku cuma pengen punya pacar, gimana bentuk dan cinta apa enggaknya, itu urusan belakang. Tuhan Yang Maha Tahu, tahu ada cowok kurang kerjaan yang ingin mempermainkan makhluk-Nya yang paling seksi itu, Dia nggak mengijinkan seorangpun wanita jatuh cinta denganku saat itu.
Kebodohan yang udah menyerupai kegilaan itu berakhir saat kawah candra dimuka IPB mendidikku. Seiring kechildisanku yang mulai luntur karena kerasnya hidup jadi mahasiswa mandiri perantauan, tentu saja perlu usaha ekstra, karena sebagai anak paling bontot, aku tentunya, manja. Pengertian tentang mencintai pun aku pelajari disini. Begitulah kuliah, nggak cuma sekolah formal yang ditawarkan tapi juga sekolah kehidupan yang bermata kuliahkan kompleksitas masalah-masalah manusia sehari-hari.
Mencintai seseorang memang benar-benar butuh keberanian. Sialnya trauma yang aku miliki sekarang buat keberanian nggak juga muncul. Trauma itu kini jadi phobia, phobia untuk jatuh cinta.
Well, kalau sekedar jatuh cinta sesaat itu udah sering banget. Namanya juga sesaat, ketemu dijalan, cantik, suka, nggak berani kenalan tapi. Noleh ke arah lain, ada yang lain yang lebih cantik, suka, ups, yang tadi lupa deh. Mungkin kata yang tepat buat gambarin adalah kagum. Ada juga yang sampek sempat suka, tapi dia nunjukin nggak suka ke aku. Begitu udah mulai jauh, langsung deh jadian sama cowok yang tentunya lebih oke dari aku.
Di IPB harapan untuk punya cewek aku kubur dalam-dalam setelah Dias, adek kelasku SMA memutuskan memilih cowok yang lebih muda dari dia. Ayam banget kan, kalah bersaing dengan adek kelasnya adek kelasku, DAMN!
Sebenarnya, waktu kelas 2, dia sempat suka sama aku, tapi aku lebih memilih Nina, cewek yang untuk mendapatkannya harus bertapa dan puasa selama setahun, nggak segitunya lah. Aku udah suka Nina dari kelas 1. Nah, sekarang ternyata aku yang kena batunya. Gantian aku yang suka sama Dias, gila, bisa juga cinta balas dendam gini. Sesekali jalan sama Dias kalau pulang dari IPB, tepatnya dua kali. Mencoba mengenal Dias lebih dekat, tawanya yang renyah, candanya yang garing, obrolannya yang…ehm…ehm, yap disinilah masalahnya, setiap kita ada kesempatan ngobrol empat mata secara langsung, aku selalu aja menumpahkan semua keluh kesahku tentang masalah yang aku hadapin, dan cuma sesekali ngasih dia kesempatan untuk ngomong. Dari sini awalnya aku ngerasa kalau dia nggak nyaman denganku, karena aku nggak ngasih dia tempat untuk dia masuki, sementara aku agresif merampas tempat dihatinya. Rasa nyaman yang nggak bisa aku kasih itu dia temukan di adek kelasnya. Mereka berdua bahagia karena jadian, dan aku bermuram durja sendirian tercampakkan oleh tindakan-tindakan bodohku.
Cinta nggak hanya butuh keberanian, tapi juga kedewasaan.
Kedewasaan berarti aku harus dewasa dalam berpikir dan bersikap, juga dalam berperasaan. Pedeku pasti tingkat super duper kalau merasa udah dewasa. Awal masuk IPB aku masih jadi orang yang sama, childish, sotoy, egois, nggak mau disalahkan. Merasa nggak punya status “dewasa”, aku membuat keputusan “dewasa” pertama, nggak usah punya pacar dulu sebelum bisa jadi lebih “dewasa”.
Hari-hari yang terakumulasi akhirnya menjadi bulan demi bulan yang terlewati. Kedewasaan emang nggak bisa dibangun dengan mudah seperti kita pipis. Perlu waktu, tenaga, dan juga hati, tanpa harus minum teh botol sosro pastinya.
Prinsip nggak usah pacaran dulu sebelum bisa jadi lebih dewasa itu udah mulai mendarah daging. Membuat aku jadi nyaman jalanin status jomblo, mungkin juga karena nggak laku-laku. Terlalu nyaman dengan status jomblo, dan terlalu asik menjalani kehidupan di IPB, melupakan akal sehatku dengan tuntutan mencari pacar.
Prinsip yang aku anut mulai diketuk oleh Ovi, cewek manis asal Tangerang yang juga satu keluarga saat MPKMB (jaman baheula dinamain OSPEK) IPB angkatan 46. Entah darimana dia bisa kenal aku. Karena kita masuk IPB lewat jalur yang berbeda, dia USMI (semacam PMDK) dan aku UTMI (tes tulis), walaupun beda cuma dihuruf S dan T doang, tapi sistem dan mekanismenya jauh berbeda. USMI seleksi pertama IPB, kuotanya juga paling banyak diantara semua tes yang diadain. Anak UTMI yang udah keterima masuk satu bulan lebih awal dari yang lain, dan udah kuliah satu mata kuliah, dimana satu mata kuliah selama satu semester dipadatin cuma jadi sebulan. Bisa dibayangin seberapa padatnya jadwal kuliah mereka. Nah anak UTMI menyusul satu bulan kemudian, bersamaan sama anak-anak pintar nan beruntung yang lulus SNMPTN. Oh ya, ternyata sebelum UTMI ada tes masuk lainnya, tesnya it berasal dari Depag, panjang ceritanya, jadi bisa lihat diwebsite aja ya.
Anak-anak UTMI juga udah mulai pra MPKMB duluan. Senior-senior yang kebanyakan anak 45, memberikan peraturan-peraturan, perlengkapan-perlengkapan dan juga nyanyian dan yel-yel MPKMB 46. Selama MPKMB aku sama sekali nggak jadi anak yang menonjol. Just ordininary junior, like others.
Tahu Ovi juga baru pas buka bareng keluarga MPKMB. Nggak ada perasaan apapun saat kenal dia, mungkin indera untuk menangkap sensor suka sama cewek udah mulai inaktif kali, tapi sumpah aku nggak homo. Awalnya aku sama dia cuma kenal dari chat di fb doang, disuatu sore yang mendung. Dia nanya aku lagi ngenet dimana, tempat aku ngenet ternyata beda dengan tempat dia ngenet. Ngeliat dari profpicnya aku tahu nih orang, tapi selama ini nggak tahu namanya. Berhubung daya ingatku mulai menurun, aku lupa lagi wajahnya. Jadi pas lagi maen ke rusunawa, kita papas an, mau nyapa, tapi takut, bener nggak dia, bener nggak ya itu Ovi. Dikesempatan chat yang lain, aku mendapatkan fakta kalau ternyata itu benar dia.
Dari sini, aku mulai dekat dengan dia. Aku nggak pernah berniat buat ngedalamin hubungan ini. Dia nyaman untuk dijadikan teman, untuk saat ini. Pikirku juga dia udah punya cowok. Aku dan Ovi jadi sering curhat, tapi nggak pernah curhat tentang masa lalu kita, terlebih lagi mantan! Aku jadi sensitif ngomongin mantan ke orang lain yang baru kenal, terutama cewek. Mencoba bijak aja mengambil pengalaman dari Dias.
Ovi jadi sering nitip salam ke Anti teman sekelasku yang satu lorong sama dia. Anehnya, Ovi nggak nitipin aja salamnya ke sahabat cowoknya yang sekamar sama aku. Mungkin malu kali, atau nggak tega aku jadi bulan-bulanan ceng-cengan lorong yang terkenal ringan mulut itu. Dari nitip salam, sebenarnya udah ngebuat aku jadi geer. Prinsip anutanku mulai terkikis, pelan tapi pasti. Teman-teman kelas jadiin ini sebagai bahan ceng-cengan. Beruntung banget, teman selorong nggak ada yang tahu, kecuali Juni, teman sekamarku yang berniat untuk ikutan jadi anggota Greenpeace mengkampanyekan hemat air, niat sucinya itu diaplikasikan dengan mandi yang…ehm..ehm..telah menjadi ritual suci baginya, cukup teman selorong aja yang tahu, dan satu lagi yang tahu cowok dikamar paling ujung, depan kamar mandi, keturunan Bali yang mencomot nama Batak seenak bibirnya, dari Cokorda minta dipanggil Ucok.
Aku dan Ovi maen ke dufan, ngerti jatuh cinta. Ngejar dia, gara-gara ucok ngomong kalo aku aneh. Aku jadi ngejauhin dia. Dia akhirnya hubungin lagi, tapi telat buatku, aku udah semakin yakin kalau aku emang belum pantas buat dia. Kita jauhan, tapi masih sering sms, sampai akhirnya aku pulang ke kampung, dia minta ketemuan, and, we never meet again, until now.

0 komentar:

Posting Komentar

prev next