Rabu, 13 Juli 2011

the next Indonesia legend singer

Walt Disney pernah bilang, “semua mimpi bisa kita raih bila kita memiliki keberanian untuk meraihnya”.
Aaa
Saat SMP ada teman yang tahu kalau didalam diri gue ada bakat terpendam seorang penyanyi. Kemampuan vokal gue dia uji lewat tes vokal sederhana yang dia pelajari dari tempat les vokalnya. Hasilnya, dia terpukau dengan suara yang gue miliki. Dia yakin kalau bakat yang gue miliki potensial buat jadi sesuatu yang istimewa suatu hari nanti. Hati gue terpengaruh dengan ucapannya, sejak saat itu gue memutuskan memiliki sebuah impian besar, kelak gue harus jadi penyanyi, harus. Tapi, gue nggak pernah tahu kalau mewujudkan impian itu ternyata mesti lewat jalan hidup yang rumit.
Gue sekarang terdaftar sebagai mahasiswa IPB jurusan biokimia. IPB memiliki paduan suara yang diberi nama “Agriaswara”, mereka nggak sekedar sudah malang-melintang didunia paduan suara, mereka juga telah menyabet berbagai gelar bergengsi di dalam maupun luar negeri. Waktu ospek dulu, mereka pamer kalau mereka baru saja menjadi juara umum di Roma. Berbagai prestasi dan cerita hebat seolah menjadi medan magnet yang membuat gue tertarik buat masuk ke paduan suara itu.
Karena sifat pemalu yang gue miliki, selama ini bakat menyanyi gue hanya bisa dinikmati diri gue sendiri dan beberapa orang teman dekat. Nggak banyak orang yang tahu tentang satu kelebihan yang gue miliki ini, bahkan keluarga gue sendiri. Apa yang terjadi sama keluarga gue dimasa lalu membuat kedua orangtua menginginkan hidup gue normal-normal aja, dan bisa mapan secara ekonomi, jadi gue selalu menyembunyikan bakat yang gue miliki dari mereka.
Aaa
Bulan depan, Agriaswara akan membuka pendaftaran untuk anggota baru. Hati kecil gue berkata, kali ini nggak boleh dilewatkan lagi, harus ikut! Ya, gue akan ikut!
Agriaswara bukanlah paduan suara kecengan yang siapa aja bisa masuk. Perlu berbagai tes sebelum benar-benar menjadi anggotanya. Niat gue sudah bulat buat ikut Agriawara, tapi gue sadar pengetahuan gue tentang dunia tarik suara masih cetek. Persiapan yang matang jauh-jauh hari harus segera disiapkan kalau gue nggak mau tersisih duluan.
Gue mulai belajar segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan paduan suara professional. Mulai dari baca not balok, latihan vibrasi sampai ke hal-hal detailnya seperti bagaimana bersikap saat diatas panggung. Padahal belum tentu semua yang gue pelajari akan dijadikan penilaian kompetensi sebagai anggota paduan suara. Gue hanya ingin benar-benar siap untuk tes itu, karena bagi gue ini adalah jalan awal yang harus gue tempuh buat jadi seorang penyanyi.
Hari itu pun tiba. Semua peserta dikumpulkan di auditorium kebanggaan kampus, Graha Widya Wisuda. Mata gue mengamati peserta-peserta yang sepertinya kebanyakan dari mereka telah berpengalaman di dunia tarik suara. Nggak ada alasan buat nggak nervous diantara orang-orang hebat ini. Gue dibuat minder setelah melihat talenta peserta-peserta lainnya dari gue tampil duluan. Percaya diri gue pun mulai goyah, dan keraguan terus menyerang akal sehat. Mungkin selama ini sebenarnya gue hanya punya suara yang cukup enak didengar, mungkin sebenarnya bakat yang gue punya itu biasa-biasa aja dan gue terlalu melebih-lebihkannya dengan imajinasi gue, atau mungkin sebenarnya gue nggak pernah sekalipun punya bakat sebagai seorang penyanyi. Aargh…seharusnya gue nggak perlu ikut acara beginian!
Suara senior yang memanggil-manggil nomer gue, membuyarkan lamunan. Dia mempersilahkan buat naik ke panggung dan menunjukkan kemampuan yang gue punya. Jantung gue berdetak cepat, tangan gue dingin, keringat dingin berhamburan didahi. Waktu naik ke atas panggung, nggak ada yang bisa gue dengar kecuali suara detak jantung gue sendiri yang seolah mau lepas dari dada.
Sejenak, kedua mata gue pejamkan saat gue udah di panggung. Saat gue buka, jantung gue benar-benar mau loncat, di barisan depan senior-senior yang sudah teruji kualitasnya sedang melihat gue dengan wajah agak sinis, mungkin mereka nggak percaya kalau gue bisa nyanyi. Jangankan mereka gue sendiri aja sekarang nggak tau apa gue sanggup buat sekedar mengeluarkan suara.
Sebuah tarikan nafas panjang sedikit membuat dada gue lega. Satu tarikan nafas panjang lagi, dan gue beranikan diri buat bicara.
Hai…, namaku Idam Permana.” Suara gue sedikit bergetar, gue coba kendalikan diri. “Aku mau ngebawain lagunya Steffie Wonder yang judulnya Ribbon in The Sky.” Senyuman andalan gue setiap kali komunikasi sama orang yang belum dikenal, gue gunakan untuk meredam tatapan mata sinis senior, dan kalau gagal, gue berharap ada satu dua orang peserta cewek yang ngeliat senyuman ini sadar bahwa gue cukup manis buat dijadikan gebetan.
Saat mau mulai menyanyi, darah gue seolah berhenti mengalir, tangan gue mulai kesemutan. “Ah, udahlah…kesempatan kayak gini belum tentu gue dapatin lagi. Nggak aa salahnya buat dicoba.” Gue coba menenangkan diri.
Ehm…ehm…
Oh so long for this night I prayed
That star would guide you my way
To share with me this special day
Where a ribbon’s in the sky for our love
If allowed may I touch your hand
And if pleased may I once again
So that you too will understand
There’s a ribbon in the sky for our love
Tepat saat gue berhenti bernyanyi, semua orang yang ada di auditorium ini memberi standing applause yang sangat meriah. Senyum perlahan mengembang di wajah gue. Perasaan bahagia membuncah, ingin berteriak sekencang-kencangnya rasanya. Semua orang di ruangan ini tersenyum dan memberikan selamat buat gue. Hari ini, nggak bakal gue lupain seumur hidup.
Ooo
Impian besar mulai bisa gue kejar, tapi gue merasa masih ada yang kurang. Ya sekarang saatnya gue ngejar sesuatu yang sudah lama gue abaikan, cinta.
Mungkin Tuhan menciptakan cinta itu sebagai sesuatu yang sederhana, manusialah yang terlalu membuatnya tampak rumit dengan rangkaian milyaran kata untuk mendefinisikannya.

0 komentar:

Posting Komentar

prev next